Aksi dukung-mendukung capres belakangan ini menyibakkan satu fakta mengenaskan dalam hal persahabatan. Hanya karena berbeda jagoan, kawan dianggap lawan, sahabat seolah berniat jahat.
Ketika makan siang, seorang kawan bertanya, “Kenapa orang bisa menjadi begitu fanatik?”.
Saya cuma tersenyum dan berkata, “Dunia itu tidak hitam-putih. Ada kebaikan dan keburukan pada setiap diri manusia. Kita yang menyadari itu, akan menilai sesama manusia secara proporsional. Memuji kebaikan seseorang untuk menumbuhkan semangatnya. Mengkritik keburukan seseorang untuk memberinya kesempatan memperbaiki diri. Tidak memuja karena ia bukan Tuhan, tidak juga mencela karena bisa jadi… ia lebih baik dari kita di mata Tuhan”.
Kita dan kawan kita dibesarkan dengan pengalaman hidup yang berbeda. Seseorang bertindak berdasarkan akal-budi dan kepentingannya. Saat dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap manusia berbeda, kita mulai berproses untuk mengasah kemampuan bernalar. Ketika menemukan kelompok yang berpikiran sama, kita mulai merasa benar. Lalu terjebak dalam paham “Either you with us, or you against us” – Jika kamu sepakat dengan saya, maka kamu adalah teman saya, jika tidak sepakat, maka kamu adalah musuh saya.
Mendengar adalah cara terbaik untuk menghadapinya. Sekali lagi, manusia bertindak karena didorong oleh akal-budi dan kepentingan. Pasang telinga dan pahamilah, siapa tahu sang kawan ada benarnya. Memahami tidak harus berakhir dengan menyetujui.
Minta Dipahami adalah tindak lanjutnya. Meminta seseorang untuk memahami kita setelah kita berusaha memahami mereka (dengan sungguh-sungguh) tampak cukup fair bukan?
Persetujuan bukanlah tujuan akhirnya. Mencari jalan tengah mempersyaratkan kedewasaan kedua pihak. Belum tentu syarat itu terpenuhi.
“Sahabat tetaplah sahabat, kawan akan tetap menjadi kawan”
Hanya itu yang perlu kita capai
Perbedaan pendapat jangan sampai merusak ikatan kekerabatan
It is Not Worth It
Jagalah ikatan persahabatan.
Bercerminlah pada setiap pilihan kata, karena…
Keterbukaan menunjukkan kematangan. Kesantunan menunjukkan kedudukan.
Salam Damai untuk Seluruh Bangsa Indonesia 🙂
Saya mendalami pesan di kalimat akhir, “Keterbukaan menunjukkan kematangan. Kesantunan menunjukkan kedudukan.” Justru itulah, apalagi menyangkut nasib bangsa 5 tahun ke depan, kita perlu menunjukkan kesejatian keterbukaan itu seperti apa. Kita hanya ingin yang terbaik yang menang, dengan pertimbangan yg rasional dan sehat. Saya khawatir sebagian anak bangsa terjebak untuk membesarkan kucing dalam karung, dengan fanatisme buta mendukung seorang capres dengan rekam jejak yang buruk. Rekam jejak minus prestasi. Rekam jejak penuh retorika dan manipulasi. Pilpres tahun ini sungguh aneh tapi nyata, menunjukkan kualitas rakyat Indonesia seperti apa. Semoga hanya sampai 9 Juli dan yang sungguh-sungguh terbaik yang menang.
LikeLike
Iya Mas, Mudah-mudahan Indonesia dapat yang terbaik 🙂
Oya, maksud saya keterbukaan di atas bukan keterbukaan informasi, melainkan keterbukaan pemikiran (open-minded). Dengan pemikiran yang terbuka, kita bersedia dan mampu menerima ide baru, introspeksi, dan menyikapi perbedaan secara positif.
Semoga iklim demokrasi kita semakin baik 🙂
LikeLike
aku ngalamin ini cuma karna kita beda pendapat dia jadi menjauh.
gatau salah aku apa yang jelas waktu itu aku nnya dia dukung siapa dia bilng “j” aku ga koment terus sehari kemudian aku ngobrol sama yang lain ternyata dia sependapat sama aku dukung “p” . pas tau itu pendukung “j” langsung marah sama aku padahal aku ga ngatangatai capres yang dia pilih ~ gimna si biar di ga marah atau kesel lg ?masa iya aku harus samain pendapat sama dia ?
LikeLike
Orang marah-marah sama orang lain yang berbeda itu biasa. Orang yang bisa mendengar, belajar, dan menerima perbedaan, itu baru luar biasa 🙂
LikeLike