Terpancing Emosi

Kemarin, sambil menyeruput teh manis panas di rest area tol Cipularang, saya teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat masuk pintu tol Tebet (Jakarta), Ibu bertanya, “Jam berapa?”. Saya jawab, “Jam 7.00”. Tidak berapa lama, beliau pun terlelap di bangku belakang. Jalanan tidak terlalu ramai, jadi (rasanya) saya menyetir santai. Ketika membayar di pintu tol Pasteur (Bandung), Ibu terbangun dan bertanya, “Jam berapa?”. Saya jawab, “Jam 8.05”. Ibu pun menyahut, “Oooh, jam 9”. Saya balas, “Bukan… Jam 8.05”. Dia tampak kebingungan sendiri 🙂

Nope… I’m not proud of it. That is plain stupid.

Sekarang saya menganggap ngebut hanya mengundang maut. Tapi dulu, itu rasanya semacam “pencapaian”. Sekarang saya tahu ngebut itu kesalahan. Tapi dulu, itu suatu bentuk kebanggaan. Butuh waktu untuk belajar dari kesalahan, masih untung tidak keburu mati di jalan.

Meski demikian, ada pelajaran penting di dalamnya.

Ada kalanya orang memacu kendaraan karena ingin mencoba batas kemampuan diri. Namun sering juga alasannya karena terpancing emosi oleh perilaku pengendara lain. Misalnya, ngebut hanya karena tidak terima dipotong jalannya oleh orang lain.

Motif ini tidak hanya dijumpai dalam hal berkendara, tetapi juga dalam banyak segi kehidupan. Di saat bekerja dan bersosialisasi, seringkali kita terpancing oleh perilaku orang lain dan/atau suasana. Suasana yang tidak kondusif atau ketatnya persaingan seringkali menjadi “alasan kuat” kenapa kita tidak berhasil mencapai tujuan. Namun apakah benar suasana dan kompetisi itu berdampak besar terhadap keberhasilan kita?

Suatu hari saya pernah bertanya pada Bapak kenapa dia suka main golf. Beliau menjelaskan, “Golf itu permainan melawan ego kita sendiri. Ketika kita mengayun stick dan memukul bola, apakah lawan kita menghambat? Sama sekali tidak. Sebaliknya, ketika lawan kita memukul bola, apakah kita bisa melakukan sesuatu untuk menahannya? Juga tidak”.

“Tindakan lawan tidak berpengaruh terhadap kita, begitu juga sebaliknya. Tapi ketika lawan bermain dengan baik atau buruk, ada semacam tekanan dalam diri kita yang berpengaruh terhadap konsentrasi dan permainan kita. Di situ kita berlatih untuk bersikap tenang dalam tekanan, adaptif pada berbagai keadaan, dan bertanggung jawab penuh atas apa yang kita lakukan”.

Kemampuan menjaga emosi adalah skill penting dalam meraih keberhasilan. Minimal dalam hal kebut-kebutan, sekarang saya sudah mau “anteng” jalan 80 sd 100 km/jam dan membiarkan mobil lain menyalip dari sebelah kanan 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this:
search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close