Beberapa hari lalu seorang kawan menanyakan nasib rupiah yang terus-menerus melemah terhadap USD. “Kompleks bin rumit binti lieur”, jawab saya sambil nyengir dengan ikhlas. Akhirnya saya coba jelaskan dengan sederhana tanpa terlalu menyederhanakan. **jiaaah…..keren ga tuh tagline gue**
Kenapa Kita Butuh Dollar?
Selama hidup, manusia membutuhkan barang dan jasa. Pada jaman dahulu, setiap manusia memproduksi (membuat/memperoleh) barang sendiri. Mau makan berburu ke hutan, mau pakaian harus menyamak kulit binatang, mau punya rumah menebang pohon, mau mangga nyolong punya tetangga. Semua dilakukan sendiri atau bersama-sama kelompoknya. Ketika barang yang diproduksi melebihi dari yang dibutuhkan olehnya, maka dia dapat menukarkan barang miliknya dengan barang lain yang diproduksi orang lain. Ujung-ujungnya, agar proses pertukaran ini efisien, maka munculah alat tukar bernama uang. Awalnya uang berbentuk emas, lalu berubah menjadi kertas yang dijamin emas, dan akhirnya berbentuk uang masa kini (yang tidak dijamin emas). Panjang-lah ceritanya, simpen dulu ya tong buat lain kali 🙂 Uang hanya berlaku di satu wilayah hukum tertentu, misalnya negara.
Prinsip yang sama berlaku ketika sekelompok orang yang tinggal di suatu negara memproduksi barang melebihi kebutuhan domestik (dalam negeri), maka mereka bisa mempertukarkan kelebihan produksi tersebut dengan barang lain dari luar negeri. Di sini muncul kebutuhan akan “mata uang” yang diterima oleh kedua belah pihak. Karena ekonominya yang sangat kuat, USA menjadi pasar yang sangat gurih* bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Akibatnya, banyak negara memiliki USD sebagai bayaran atas produk yang diekspor ke USA. Efek lainnya adalah USD bahkan digunakan untuk transaksi yang bukan dengan USA. Akibatnya, kebutuhkan atas USD muncul tidak hanya ketika Indonesia membeli barang dari USA saja, tetapi saat Indonesia membutuhkan barang dari negara lain sekalipun.
* peringatan: jangan nyari keyword ‘USA’ di qraved atau food panda. Itu bukan makanan.
Apabila Indonesia sama sekali tidak membutuhkan barang dari negara lain, maka kebutuhan atas USD pasti akan menyusut drastis. Tapi hal ini sebenarnya tidak mungkin terjadi ya kakaaak. Di dunia modern, manusia tidak memproduksi sendiri apa yang dia butuhkan, melainkan memproduksi yang dia mampu dan mempertukarkannya dengan produk yang dia butuhkan. Contoh sederhana, kita tidak menanam beras sendiri meski setiap hari makan nasi. Kita memproduksi barang/jasa lain, mendapat uang (alat tukar) dan menukarnya dengan beras plastik. Dalam skala nasional, hal ini juga terjadi. Misalnya, Indonesia memproduksi sepatu olahraga, mengekspornya dan mendapatkan USD, lalu USD tersebut dibelanjakan dengan mengimport produk elektronik semacam *pees* meski gamenya bajakan.
Daya Beli
Sebetulnya yang jadi masalah bukan kurs USD, melainkan Daya Beli (Purchasing Power). Ini terjadi ketika nilai uang yang sama tiba-tiba nilainya susut. Misalnya, uang 100 ribu Awalnya bisa membeli daging 1 kg, sekarang hanya bisa dapat 0,8 kg. Kenaikan USD berpengaruh terhadap daya beli karena kita banyak mengkonsumsi barang impor. Bahkan produk dalam negeri pun, bahan baku, mesin produksi, atau modal pinjamannya ternyata berasal dari luar negeri. Akibatnya, kenaikan USD berpengaruh terhadap harga barang, dan menyusutkan daya beli masyarakat.
Pendapatan individual biasanya diukur secara global menggunakanGross National Income per-capita. GNI per-capita Indonesia pada tahun 2013 adalah 9,270 PPP Dollar. Bandingkan dengan Malaysia (22,530), Thailand (13,430), USA (53,750). Angka-angka tersebut menunjukkan perbandingan nilai pendapatan per-individu (manusia) di setiap negara.
Meningkatkan Daya Beli
Jawabannya, “Tingkatkan produktifitas dan ciptakan nilai tambah“.
Yup, kalau tidak ada barang/jasa yang diproduksi, apa yang mau dipertukarkan? Kalau hanya menjual barang apa adanya, siapa yang nggak bisa, bro?
Di negara maju, satu restoran cukup besar hanya dilayani oleh satu pelayan yang bertugas sebagai waiter, kasir, dan kadang koki 🙂 Misalnya McCafe Prancis, hanya ada satu orang yang menerima order, menyiapkan makanan, menerima pembayaran, dan sesekali mengelap meja dan mengepel lantai. Ya, hanya satu orang! Bandingkan dengan pelayan di Indonesia yang jumlahnya banyak dalam satu restoran, tetapi asyik menonton sinetron, dan kerjanya santai kayak di pantai. Mungkin banyak yang bilang, “itu karena gaji pelayan di sana mahal”. Coba dibalik, kalau jumlah pelayan restoran di Indonesia dikurangi sepertiganya, gajinya bisa jadi 3x lipat bukan?
Tidak hanya produktifitas pekerja, budaya masyarakat pun perlu dibangun. Pelayan di atas tidak perlu sering membersihkan meja, karena setiap selesai makan, konsumen membersihkan sendiri mejanya. Tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan manajemen restoran untuk tenaga kebersihan tambahan. Seringkali kita mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu, termasuk mengeruk kali karena masyarakat membuang sampah sembarangan atau membayar penjaga WC karena pengujung sering tidak menyiram sehabis buang air.
Peningkatan nilai tambah terjadi ketika selisih nilai bahan baku dan produk akhir semakin tinggi. Misalnya, Indonesia selalu konsisten mengimpor minyak mentah, melakukan pemrosesan, dan mengekspor BBM dan oli mesin ke negara tetangga. Eh,… kebalik ya? 😛 #garukgarukkepala
Ekspor Indonesia masih kurang bernilai tambah. Kita banyak mengekspor bahan mentah / setengah mentah seperti minyak dan hasil hutan, tetapi mengimpor barang jadi bahkan canggih seperti mobil. Jumlah populasi Indonesia yang sangat besar dan usianya yang relatif muda lebih banyak dijadikan target pasar ketimbang pusat produksi. Tingkat pendidikan yang lebih baik serta pemberdayaan masyarakat adalah mutlak diperlukan. Seorang teman bercanda, di Indonesia ini bisnis yang paling laku adalah jual tanah air… ya, jual konsesi isi tanah kayak minyak, batu bara, emas, kayu dari hutan, dan air bersih.
Optimisme
Situasi ekonomi memang sedang sulit. Kita tetap harus optimis, karena tidak ada orang atau bangsa yang sukses dengan mental pesimis.
Be Productive, Be Innovative
Kalau kata Aa Gym, mari mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai sekarang.
Catatan:
Produktifitas bukan satu-satunya penentu nilai mata uang. Dalam perhitungan resiko nilai tukar, forecasting (prediksi) nilai tukar seringkali didasarkan pada matrix covariance (koefisien korelasi) suku bunga dan nilai tukar beberapa mata uang dominan. Debt-to-GDP suatu negara pun perlu diperhitungkan. Ini tidak saya bahas karena bisa jadi cerita panjang lainnya 🙂