Yang namanya “anak”, umumnya belum tahu mana yang baik dan yang buruk. Waktu masih bayi, jangan harap si kecil nggak ngemut mainan, kertas, tisu, atau sebangsanya. Waktu “gede”-an sedikit, banyak yang disuruh makan aja susyah-nya minta ampyun. Kalau sudah sekolah, maunya maiiin terus.. nggak mau belajar. Nggak main gundu, congkak, galah-asin… eh itu anak jaman dulu ya??? jaman sekarang mainnya PlayStation, Wii, iPad, BB-an, de el el.
Back to the premise: “anak umumnya belum tahu mana yang baik dan yang buruk”…
Is it true? Memang orang tua selalu lebih tahu mana yang baik dan buruk? Yakin? Jujur saya sih nggak yakin.
Saya sering mengamati anak di-tuntut untuk menjadi “pintar”. Atau tepatnya, pintar dalam versi orang tua nya. Sekolah menciptakan budaya bahwa anak harus dapat nilai bagus. Anak “terpaksa” belajar karena takut dapat nilai jelek. In fact, dalam kehidupan nyata, pencapaian yang luar biasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki passion yang besar, bukan oleh orang-orang yang bekerja dengan didorong rasa takut.
Ini pengalaman sendiri…
Seperti ibu-ibu pada umumnya, pasti jengkel kalau melihat anaknya malas belajar. Ibu saya contohnya. Beliau jengkel beneeer melihat anak laki-laki satu-satunya malas poll. Pulang sekolah kalau nggak nge-band, main game, oprek-oprek program komputer, main kartu remi, karambol, monopoli… apa aja, kecuali… Belajar! Dalam hatinya pasti bilang, “nasiiiiiib….” 🙂 hehehe… Lucunya, bapak saya yang rajin baca ini-itu… malah nggak pernah sekalipun menyuruh saya belajar. Yang dia lakukan hanya memfasilitasi saya setiap kali saya ingin mencoba sesuatu. Sewaktu SD senang menggambar, dikasih alat gambar. Nggak tahan lama, senang melihat gambar-gambar keren bintang dan galaksi, ditemani baca ensiklopedi Grolier. Pingin berenang, ditemani belajar berenang sampai bisa. Malahan dia ikut belajar… ternyata doi juga nggak bisa berenang *waduh malu2in*.. hehe… Tertarik merakit electronic-kit, ditemani beli dan pilih-pilih kit untuk dirakit.
Suatu saat, dia membeli komputer (merknya apple loh.. mantep ga tuh.. hehe). Eh.. ternyata bisa dipakai main game digger, ping pong, cowboy, tank, chess, dll. Gara-gara senang main game, akhirnya kepingin bikin program komputer, dan masukkan-lah saya ke kursus komputer. Ternyata disitulah saya berlabuh (hmmm… kok kayak kisah cinta?)… Mulai coding kelas 4 SD… berlanjut dengan masuk Fakultas Ilmu Komputer dan gawe di bidang IT… sampai sekarang 🙂
Satu hal yang belakangan saya baru mengerti dari prinsip bapak saya adalah: masa kecil bukan untuk belajar… melainkan mencari tahu minat dan bakat. Jika minat dan bakat sudah diketahui semenjak dini, maka itu bisa dipupuk sampai dewasa untuk menjadi sebuah keunggulan. Coba lihat, pesenam-pesenam Rusia yang jago. Semuanya memulai dari masih imut-imut dan unyu-unyu.
Ketika seorang anak sudah menyukai suatu bidang, maka mempelajari bidang tersebut sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah beban. Semua terasa begitu menyenangkan!
Tempo hari saya sampaikan pada istri, “Saya ingin anak kita bisa menjalani mimpinya sendiri, bukan mimpi orang tuanya, apalagi mimpi orang lain. Biarkan anak kita menemukan potensi terbesar dirinya yang mungkin saja berbeda dengan potensi anak yang lain. Kalau dia mau, dia boleh jadi juara kelas, paling jago matematika dan fisika sedunia. Dia juga boleh tidak mau jadi juara kelas, tapi ingin jadi pelukis yang hebat, atau ingin jadi pemain bola kelas dunia. It doesn’t matter, selama itu adalah potensi terbesar dirinya”.
Nothing better than getting paid for doing our hobby
boleh share ke FB yah om daus.. hatur tenkiu 🙂
LikeLike
Silahkan Mas, sama-sama. Semoga bermanfaat 🙂
LikeLike