Suatu hari di meja makan nan penuh piring kosong, cuaca cerah tanpa hujan atau angin ribut, tiba-tiba Bapak menanyakan pertanyaan itu:
“Menurut kamu apakah orang bisa dibentuk menjadi pemimpin atau memang sudah terlahir sebagai pemimpin?”
Huaaa… Baru aja perut kenyang, sekarang bakal habis nih kalorinya disuruh mikir *tepokjidat* … Tapi demi mengasah ilmu pelet dan kekebalan tubuh logika, bolehlah saya ladenin maunya beliau.
Dengan penuh keyakinan saya jawab, “Bisa dibentuk. Kepemimpinan itu kan ilmu. Semua ilmu kan bisa dipelajari”. Sambil senyum-senyum nggak jelas, Bapak bilang, “Bisa diterima. Tapi sebetulnya pertanyaan itu pertanyaan yang sangat sulit. Bahkan para pakar saja tidak bersepakat atas jawabannya”. Diskusi selesai, saya pun dibiarkan kembali ke habitat saya, yaitu meja game *asyikasyik*.
Sampai dengan beberapa tahun yang lalu, saya masih yakin dengan jawaban saya itu. Prinsip saya, manusia itu bisa belajar dan memperbaiki diri. Manusia tidak perlu jadi produk dari lingkungannya. Meski lingkungannya bodoh, miskin, arogan, pembohong, rasis, dll. Manusia sesungguhnya bisa mengubah pola pikirnya dan memiliki pola pikir yang lebih baik. Begitu juga orang yang tidak tahu seluk-beluk kepemimpinan, pasti bisa belajar jadi pemimpin.
Tapi bukan Bapak saya kalo pertanyaannya bisa dijawab gampang. Pertanyaan itu pasti mengandung umpan.. umpan.. umpan.. (sambil joged-joged ala thomas jorgi). pemikiran lebih dalam.
Beberapa tahun lalu saya diberi pencerahan bahwa secara manajemen, kompetensi itu terbagi tiga, yaitu:
- Kompetensi inti (core competency)
- Kompetensi manajerial (management competency), dan
- Kompetensi fungsional (functional competency).
Dalam konteks bisnis, kompetensi menjadi prasyarat seseorang untuk dapat menempati suatu jabatan (position) tertentu. Contohnya, kalau di lowongan tenaga kerja kan suka ada yang bunyinya begini:
Dibutuhkan Segera:
Programmer Senior
Kualifikasi:
- Pria/Wanita
- S1 Ilmu Komputer atau Teknik Informatika
- Pengalaman Kerja: 5 Tahun sebagai Programmer
- Menguasai bahasa pemrograman C# .NET atau Java
- Mampu memotivasi diri sendiri, menyukai tantangan, dan mampu meningkatkan efektifitas kerja tim
Kalau cakep mau jadi pacar saya
Bagian “mampu memotivasi diri sendiri, menyukai tantangan” adalah kompetensi inti, bagian “mampu meningkatkan efektiftas kerja tim” adalah kompetensi manajerial, sedangkan bagian “menguasai bahasa pemrograman C# .NET atau Java” adalah kompetensi fungsional.
Pada prakteknya, calon karyawan yang belum memiliki kompetensi fungsional secara lengkap tetap dapat diterima karena itu dapat ditingkatkan melalui training. Calon karyawan yang memiliki kompetensi manajerial terbatas juga masih bisa masuk karena belum tentu semua posisi membutuhkan tingkat manajerial yang tinggi. Lain halnya dengan calon karyawan yang tidak memenuhi syarat kompetensi inti. Calon karyawan seperti inti sudah pasti akan ditolak. Kenapa? karena hampir tidak mungkin sebuah perusahaan mengembangkan kompetensi inti seseorang. Kompetensi inti dibentuk dari sejak masih kecil dan berkembang sampai seseorang beranjak dewasa.
Jenjang Karir dan Kepemimpinan
Dalam sebuah perusahaan, dikenal jenjang karir manajerial dan jenjang karir spesialis. Untuk sukses di jenjang karir manajerial, seseorang perlu menjadi generalis – tahu banyak seluk-beluk bisnis, operasional, dan administrasi perusahaan, serta memiliki kemampuan memimpin tim dalam jumlah yang semakin besar. Biasanya orang-orang ini akan menjadi manajer, general manager, bahkan direktur atau C level (CEO, COO, CMO).
Untuk sukses di jenjang karir spesialis, seseorang perlu memiliki keahlian yang sangat dalam di bidangnya, dan cukup memiliki pengetahuan terbatas di bidang lainnya. Biasanya orang-orang ini akan tetap ada di jabatan yang sama, misalnya programmer, analis, dokter, pengacara, dll. Meskipun demikian, dengan grade yang semakin meningkat, pendapatannya bisa sama, bahkan melebihi manajer atau direkturnya sekalipun.
Dalam jenjang karir manajerial, kemampuan memimpin sangatlah menentukan keberhasilan seseorang. Pada prakteknya, karena seorang pemimpin cenderung generalis, maka semakin tinggi jabatannya, semakin sedikit kompetensi fungsional yang dipersyaratkan. Ketika menduduki posisi manager, yang akan lebih dibutuhkan adalah kompetensi inti dan manajerialnya saja. Hampir semua pekerjaan teknis akan ia serahkan pada tim yg dipimpinnya, yang notabene punya kemampuan fungsional.
Lebih lanjut, ketika seseorang sudah benar-beanr menjadi pemimpin, yaitu ketika mencapai posisi direktur atau C-Level, maka pekerjaannya akan lebih banyak berkutat dengan strategi dan kebijakan (policy). Bahkan pengelolaan tim, ia serahkan pada para manajernya. Di titik ini, kompetensi yang lebih dibutuhkan adalah kompetensi inti tingkat tinggi. Beberapa contoh kompetensi inti tingkat tinggi menurut Spencer & Spencer adalah:
- Mampu menetapkan tujuan yang menantang dengan menganalisa segala tindakan berdasarkan cost-benefit analysis, dan secara konsisten mengambil resiko entrepreneurial dengan pertimbangan yang masak.
- Cepat dalam krisis, melakukan tindakan antisipatif untuk lebih dari 10 tahun ke depan.
- Mampu mendengar dengan responsif, mengerti emosi dan isi percakapan, memahami isu kompleks dibalik suatu percakapan, dan siap menolong.
- Mampu membangun kesepakatan, sering melakukan kontak sosial yang melibatkan keluarga, serta dapat membina persahabatan akrab dan pribadi.
- Memberi pengarahan secara detail, lugas, dan menuntut performansi tinggi. Menegur orang, menggunakan ancaman dengan kemarahan yang terkontrol, serta memutus PHK orang berkinerja rendah.
- Menunjukkan ekspektasi positif, meminta input, memberi semangat, membangun tim, dan menciptakan kompetisi.
- Menggunakan kekuasaan secara adil, meningkatkan efektifitas tim, memperdulikan kelompok, menempatkan diri sebagai pemimpin, dan mengkomunikasikan visi.
- Mengelola stress dengan efektif, menenangkan orang lain, menunjukan rasa percaya diri, dan menempatkan diri dalam situasi yang sangat menantang.
- Melakukan pengorbanan diri, membuat keputusan yang tidak populer (tidak disukai) demi kebaikan meski bersifat kontroversial, mengobarkan diri sendiri dan tim demi hal tersebut.
- Mampu melakukan tindakan persuasif, memperhitungkan untuk menggunakan suatu tindakan yang dramatis, dan menggunakan strategi mempengaruhi yang kompleks
Karena kompetensi inti di-bentuk / di-didik sejak seseorang masih balita, maka tidak begitu salah kalau dikatakan bahwa kompetensi-kompetensi tersebut adalah “bawaan lahir” 🙂 Atau dengan kata lain, seorang pemimpin bisa jadi memang sudah memiliki kompetensinya sejak ia masih kecil, yaa beda tipis-lah dengan “terlahir” 😛
Butuh hampir 10 tahun untuk paham kenapa dulu Bapak menanyakan pertanyaan itu. Beliau memang tidak pernah memaksa saya untuk menelan bulat-bulat pendapatnya, tetapi cenderung membiarkan saya mencari tahu sendiri. Maklum anaknya yang satu ini terlahir keukeuh sumrekeuh bin hararese binti kekereweng. (Silakan cari artinya di kamus bahasa perancis – peranakan ciamis).
The Legend Continuous
Nah, balik ke cerita 10 tahun lalu, sebetulnya saat itu “kuliah” saya belum segera berakhir. Karena kurang lebih beberapa hari sesudahnya dia kembali mengusik kedamaian saya yang sedang mashuk bermain game menanyakan pertanyaan yang serupa tapi tidak sama. Dia menanyakan, “Penting mana pemahaman agama atau pendidikan?”. Saya jawab, “Penting pendidikan. Buktinya di luar negeri semuanya serba tertib, negaranya maju, rakyatnya sejahtera. Bandingkan dengan Indonesia atau negara Islam yang orang-orangnya antri saja malas, banyak orang miskin, hobinya menyalahkan keadaan, bertengkar, dan rasis. Menurut saya itu karena kurangnya pendidikan. Kalau lebih terdidik, pasti keadaannya lebih baik”. Bapak pun menolak, “Memang sejak kapan agama (islam) mengajarkan malas, bertengkar, atau rasis? bukannya itu adalah perilaku orang yang “kebetulan” terlahir beragama islam dan orang-orang yang sengaja menafsirkan ayat demi pembenaran kepentingannya sendiri? Bukannya itu yang justru mau diperbaiki dengan kehadiran agama?”.
Berbeda dengan kebiasaannya, kali ini Bapak terang-terangan mendebat saya secara keras dan berkepanjangan.. bangeeeett… ampun deh kakak. Ini jarang sekali terjadi. Biasanya dia akan membiarkan saya berpikir sendiri. Panjanglah kalau diceritakan di sini. Ending story-nya, saya tetap bersikukuh dengan argumen saya, dan Bapak juga bersikukuh dengan pendapatnya, yaitu lebih penting pemahaman agama ketimbang pendidikan.
Meskipun suka keukeuh, di hampir semua topik, pengalaman membuktikan bahwa pada akhirnya pendapat Bapak akan terbukti lebih benar daripada pendapat saya. Meski kadang butuh belasan tahun untuk bisa sampai ke pembuktian tersebut.
Meski belum betul-betul bisa me-modelkan keterhubungan antara 3 kompetensi diatas dengan debat masalah agama vs. pendidikan, saya menemukan titik cerah ketika berkenalan dengan konsep “integritas”. Dalam buku “Principle Centered Leadership”, Stephen Covey mendeskripsikan integritas sebagai orang yang konsisten selalu sama antara ucapan dan pikiran, serta konsisten selalu sama antara ekspresi dan emosi. Artinya, seseorang yang memiliki integritas tinggi, akan selalu berkata jujur, karena apapun yang dia ucapkan selalu sama dengan apa yang dia pikirkan. Dia juga aseli dalam berperilaku, dia tampak senang ketika hatinya senang, tampak, sedih ketika hatinya sedih, tampak marah ketika marah, tentu dengan dengan porsi dan kontrol emosi yang baik.
Seorang pemimpin menentukan nasib, harkat hidup, bahkan nyawa banyak orang. Ucapan, “Saya menyatakan perang” yang keluar dari mulut sembarang orang akan sangat berbeda dampaknya bila itu diucapkan oleh seorang pemimpin negeri. Lisannya pemimpin bisa mengakibatkan ratusan ribu orang mati dan meninggalkan jutaan janda dan anak yatim. Hanya Tuhan yang tahu isi hati seseorang, sesama manusia hanya bisa menilai dari lisan dan perilaku saja. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus mampu menjaga lisan dan perilakunya.
Pemahaman agama bagi setiap orang berbeda-beda, namun bagi Bapak, pemahaman itu bukan terwujudkan dalam bentuk ritual semata, tapi lebih dalam bentuk perilaku yang baik. Saya jadi mulai “nangkep”, integritas adalah salah satu hal yang membedakan apakah seseorang layak menjadi pemimpin yang baik atau tidak. Seorang pemimpin yang baik akan selalu menjaga integritasnya – kejujuran dan perilakunya. Seorang pemimpin yang takut pada Tuhannya, akan selalu jujur dan berperilaku baik meskipun tidak ada orang yang mengawasinya.
Agama juga mengajarkan ikhlas, yaitu melakukan sesuatu hanya karena ingin beribadah pada Allah, bukan karena ingin materi atau penghargaan dari sesama manusia. Pengertian beribadah disini ada karena Tuhan mewajibkan manusia untuk bermanfaat bagi sesamanya. Nah… jadi pemimpin itu banyak nggak enaknya. Kemarin, Di talkshow-nya Mata Najwa, saya melihat interview dengan Ridwal Kamil (Walikota Bandung), dia bilang, “… Saya di-komplain PKL bikin jalanan macet, begitu dibenahi saya di-komplain sekarang susah cari casing HP atau kalau mau jajan. Saya di-komplain banyak pengemis, begitu dibenahi saya dibilang walikota terkejam dalam sejarah Bandung”. Memang kuncinya jadi pemimpin adalah ikhlas: luruskan niat, lakukan yang terbaik, serahkan hasilnya pada Yang Maha Kuasa. Berhasil, alhamdulillah – gagal, coba lagi. Dipuji tidak tinggi hati, dicaci tidak sakit hati.
Sayangnya, tangkepan saya baru sampai segitu. Mudah-mudahan masih sempat nangkep lagi kapan-kapan 🙂 *CIAYOO*
Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai ilmu psikolog.Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai gaya hidup yang bisa anda kunjungi di disini
LikeLike